CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 19 Oktober 2008

Lebaran

Rebahkanlah sejenak
lalu pergi lagi
ke dunia paling liar yang pernah kau bikin
dari jerami dan belukar

Teguklah
seteguk
masuklah
dalam mabuk
menghilang
muncul
dahaga lagi

Rebahkanlah lagi lebih dari sejenak

Yogyakarta, 2008

Do’a Pagi

  : Joko

Pagi ini sebelum gunung-gunung bangun 
dan memanjati punggungku,
aku sudah siuman dari pingsan semalaman
setelah tengkukku dipukul mimpi
aku tak ingat mimpi yang mana
yang telah membuatku pingsan

Aku bangun di pagi yang buta
Entahlah aku tak tahu 
kenapa pagi ini begitu buta?
Padahal pagi biasanya punya mata
mata hari pagi
mata yang bisa membuat pagi melihat siang
siang menatap senja
senja takjub pada malam
dan malam berharap pada pagi.
berharap supaya
pagi bangun tepat waktu
sekolah yang pinter
supaya kalau besar jadi dokter
mengobati siang yang sering sakit panas
senja yang berkulit merah
malam yang kadang kesulitan melihat dalam gelap

Semoga pagi yang lahir esok
punya mata
mata pagi 
mata untuk melihat hari yang berjalan-jalan
mata untuk melihat
mata mu!

yogyakarta 2008

Jumat, 10 Oktober 2008

Di Masjid Kota Gede

Tempatku bersujud tiba-tiba bolong
Tahajudku bergoyang
Yogyakarta 2008

Cangkir Kopi

: penjual kopi
Urat cangkir ini sudah terlalu lama
menahan panas dan pahit
tak bisa disembunyikan urat rapuh di wajahnya
menanggung beban yang terlalu keruh
putihnya memudar
retak di tepian

Aku tahu dia butuh pertolongan
awan panas yang menyembul itu penanda
tak sebatas jadi mendung dan gerimis
tapi apa artinya?
apalah

Boleh kupinjam patahan gagang cangkirmu?
sebentar saja untuk mengaduk
lautmu yang lebih mati!

Sebelum kutelan bebannya
kusapa dengan lembut
kuajak bicara
dia hanya diam
kudekati wajahnya
kucium perihnya
bau karat
keusangan dari masa lalu.
semakin dekat kulihat
lekat lebam-lebam luka
tak ada perih rintih
di mana kuburan luka-lukamu? tanyaku
dia menjawab dengan bahasa asing
seperti gumaman
seperti rintihan
antara pasrah dan perih
menghitam
melarut jadi pekat kental
di sebuah perjumpaan hitam
antara aku dan urat rapuh di wajahnya

Semakin lekat kulihat
kulihat pula bebannya
kian pekat dan menggumpal
membuatnya semakin bungkuk
terus!
dan terus aku coba!
membaca garis-garis luka di wajahnya
tapi tetap terlalu hitam
untuk sekedar kupahami
2006-2008

Do’a pagi 2

:Joko
Pagi ini sebelum gunung-gunung bangun
dan memanjati punggungku :

terima kasih untuk malam yang pergi
terima kasih untuk embun yang tersingkir
terima kasih untuk matahari yang iseng terbit

Pagi ini tak pernah berwarna
seperti malam
yang merindu matahari
2008

Ada batu di kepalaku

Entah batu apa?
batu di kepalaku lebih keras dari Batu
membuatku menolak sepaham denganmu
memahami seberapa besar
kaugantungkan nasibmu padanya
seberapa besar pula kepasrahanmu menerima tafsir mimpi
badanku di sini menyertaimu
tapi pikiran menolak
bau menyan dan sesaji
lebih bikin aku gamang
daripada khusyuk sepertimu
bukan karena ada yang berbeda
sebaliknya
karena ada yang sama
sama-sama ada dan sama-sama tak ada
2008

Bait yang hilang

Matahari tiba-tiba terbenam saat teriknya
ruh tercabut
setengah
setengah tertidur
setengah berjalan
tertatih
setengah terhanyut
larut
tiba-tiba bait puisi yang kutulis
kabur entah kemana
Denpasar 2006

Hujan Pertama dan batu yang pelupa


Rinduku padamu sudah membatu
namun perjumpaan hari ini
menghancurkan segala batuku
entah yang mana yang lebih ibu?
dan yang lebih kurindu?


Panas jadi sejuk karena matamu
dan terik jadi teduh karena senyummu
lalu
jiwa-jiwa bangkit
melayang di awang-awang


kau yang gersang.....
akhirnya menyerah
dari sekian lama
menjaga keangkuhanmu


Timbunan waktu
selubung rahasia
terbongkar tanpa cadar
batang tubuh
jadi merah dan berdenyut
kau hidup lagi, wangimu
wangi tanah dari saripati
hujan inilah yang paling ibu
sedangkan tanah
adalah tempat senyum dilekatkan


Wangi inikah asalku?
asal yang berarti tanah
lalu ruh dihembuskan
pada tembikar yang dibakar
jadi batu
yang sering jadi pelupa
Yogyakarta 2008

Ubung

Berjalan di hari hampir senja
berdua saja
hampir mesra bergandeng rasa
tetapi bukan dengan kekasihku

Lorong panjang yang dalam
di goa batu
saat dua cahaya saling berpapasan
berhenti sejenak
bertukar peta untuk saling memberi celah jalan pulang

Perkampungan lusuh
selalu kumuh saat didera hujan
disemai bau politur
berwarna coklat lumpur
"sesungguhnya ini mengingatkan saya pada Jogja" ujarnya
sungguh mengagetkan bagiku
melewati pendulang emas
mencabik-cabik lumpur di kubangan
mengais sisa-sisa
sisa harapan
meraih sia-sia

Kaki melanjutkan langkah
tetapi
mata masih tertinggal
terjerembab dan hampir tenggelam di kubangan lumpur
dicabik-cabik!

Tangan-tangan yang mencabik-cabik mataku
aku pinjam kau
untuk menulis sajak
ma’afkan aku tanganmu
kutenggelamkan di kubangan sajakku

Perjalanan
antara aku dan bukan kekasihku
sampai di segurat sajak
Tangan-tangan itu ,masih tersisa di mataku
Denpasar-Yogyakarta 2006-2008

Telor mata sapi melayang di atas kepalaku

:Tatang

Ketika hari mulai gosong
kulihat telor mata sapi setengah matang
melayang-layang tepat di atas kepalaku
kuning di tengahnya
tak putih di tepinya

Andai aku kala
kulumatkan telor mata sapi itu untuk kalian
biar gosong jadi arang
arang jadi abu
dan abu akan kupakai
untuk membersihkan
untuk membersihkan
malam yang gosong

Haripun bertambah gosong
kubiarkan dia mengikutiku
mengincarku
aku yakin dia tak tahu
bahwa aku juga mengincar
bayangannya?
Denpasar, 2008

Dalam Bis Kota

Yang duduk dengan setengah pantat
yang mendengkur
yang mual
yang berdiri satu kaki
yang mencari keseimbangan
bayarnya sama!
memang adil
Tuhan juga Maha Iseng

Solo-Yogyakarta 2007

Cangkir Kopi


: penjual kopi

Urat cangkir ini sudah terlalu lama
menahan panas dan pahit
tak bisa disembunyikan urat rapuh di wajahnya
menanggung beban yang terlalu keruh
putihnya memudar
retak di tepian

Aku tahu dia butuh pertolongan
awan panas yang menyembul itu penanda
tak sebatas jadi mendung dan gerimis
tapi apa artinya?
apalah

Boleh kupinjam patahan gagang cangkirmu?
sebentar saja untuk mengaduk
lautmu yang lebih mati!
Sebelum kutelan bebannya
kusapa dengan lembut
kuajak bicara
dia hanya diam
kudekati wajahnya
kucium perihnya
bau karat
keusangan dari masa lalu.
semakin dekat kulihat
lekat lebam-lebam luka
tak ada perih rintih

Di mana kuburan luka-lukamu? tanyaku
dia menjawab dengan bahasa asing
seperti gumaman
seperti rintihan
antara pasrah dan perih
menghitam
melarut jadi pekat kental
di sebuah perjumpaan hitam
antara aku dan urat rapuh di wajahnya

Semakin lekat kulihat
kulihat pula bebannya
kian pekat dan menggumpal
membuatnya semakin bungkuk
terus!
dan terus aku coba!
membaca garis-garis luka di wajahnya
tapi tetap terlalu hitam
untuk sekedar kupahami
2006-2008


Mengarsir Pelangi



Di kertas buram kugambar pelangi untuk ibuku
kuarsir,
warna merah
jingga
kuning
lalu hijau
ah
tiba-tiba pensilku patah
kuserut
aku lanjutkan mengarsir
warna hijau
pensilku patah lagi
kuserut lagi
kulanjutkan lagi mengarsir
warna hijau
pensilku patah lagi, kuserut
tetap kulanjutkan mengarsir warna hijau
pensilku patah lagi!
arsiran warna hijau belum selesai
pensil tak bisa lagi kuserut!
aku pandangi gambar pelangiku
ah!
sedari tadi baru aku sadar
kalau pelangiku tak berwarna
aku tak menyalahkanmu
yang tak mengajari aku mengeja warna-warna
Yogjakarta 2008

Mengeja Wajah

Di garis tepi parangtritissaat bayanganku terbakar mataharidi atas pasirkutulis sajak buat ibuku:Ibu Kutemukan lekuk tubuhmu bersimpuh lesugaris wajahmu burammuram dalam bayangankuterlalu maya untuk dijamahIbuKenapa kau terus menangis?air matamu menetesmembasahi kecemasankuterasa asin di batinIbudi goresan mimpi-mimpikuaku selalu melihatmu menimang masa kecilku dengan emban tak berwarnasambil menembang lagu bisusuaramu begitu merduIbuterus kukais-kais dirimudi sisi imaji yang tersisatapi tak kutemukan kamu!aku rindu kamuseperti aku benci pada masa laluyang membuat aku tak pernah bisa menggambar wajahmudan menerka garis nasibmuDi garis tepi parangtritissaat bayanganku hampir gosong terbakar matahariaku berbisik pada telingaku:takutmu lebih berani daripada tanganmudan menggambarnya adalah sia-siaYogyakarta 2007-2008

Mabuk

Aku ada?
aku tak ada
ruhku menggelinding entah kemana
badanku tersangkut entah di mana
yang aku bukan aku
bukan mauku
tersesat dalam diri sendiri
Denpasar 2007

Waktu, mati usia

 Sebuah kado ulang tahun

Waktu tak pernah jadi tua dan pelupa
berputar seperti jarum jam
yang terus berdetak di dinding kamarmu

Angka-angka di kalender
terus berulang di awal tahun
lalu menjemputmu
mengajakmu abai tentang waktu

Tanpa kausadari
Usiamu telah mati 
terkubur dalam dirimu
jadi bangkai dan membusuk
yang hidup adalah 
jarum-jarum  
jam dinding di kamarmu
berdetak
berderit
menjalar 
dan terus bergerak
lalu menusuk tepat 
pada jam di dinding jantungmu!

Dengan lilin yang menyala 
bakarlah 
jam di dinding kamarmu
pejamkan matamu, berharaplah!
lalu padamkan 
nyalakan lagi
padamkan lagi
nyalakan!
Padamkan!
padamkan nyala!

Waktu tak pernah jadi tua dan pelupa
semoga
angka-angka di kalender 
tak tanggal
tak nyelonong seenaknya
semoga 
lepuh peluh yang menetes
diperhitungkan
dan bernyawa lagi
berdetak 
bersama jam 
di dinding jantungmu
  
Yogyakarta 2008

Rabu, 03 September 2008

Basah Yang Hangat

:teku

Malam ini kami berkumpul lagi
merumuskan keisengan-keisengan

membakar tembakau
jadi kunang-kunang yang berterbangan
asap mengepul dari semua mulut
mirip cerobong asap
berebut tempat di langit-langit kamar

Abu berhamburan
lalu jatuh ke cangkir-cangkir kopi
menjelma gagasan-gagasan basah
basah yang hangat
hangat menyerupai kebersamaan
kebersamaan dalam satu kepala
lalu pecah lagi
jadi keisengan-keisengan
keisengan yang terlupa
berceceran jadi puntung-puntung
sebagian gosong
sebagian basah
gosong yang hangat
seperti basah yang hangat
yang menghisap dan yang tidak
satu rasa
rasa sesak
jadi terisak
lalu terisak karena perpisahan
perpisahan yang basah

Udara jadi lebih hangat
nafas jadi longgar
longgar seperti isi kantongku
basah yang hangat
bikin aku lupa laparku
Yogyakarta 2007- 2008